Kolom Artikel

Yeah..ahlan wa sahlan di kolom artikel.di sini kalian akan menikmati artikel artikel dari penulis penulis Berandalan Puritan seperti Herry Nurdi, Thufail Al Ghifari (Vokalis The Roots Of Madinah), Dan Yanuardi Syukur dari Komunitas Anti Zionis Internasional (KaZI) dan kru - kru berandalan puritan lainnya. Kalian juga bisa melibatkan diri dengan mengirimkan artikel artikel kalian ke redaksi kami via facebook Berita Hari Ini atau bergabung group facebook Berandalan Puritan. Artikel pilihan akan kami tampilkan di blog sederhana ini..yeah!

Membunuh Itu Mudah! (Oleh : Herry Nurdi)





Sungguh, membunuh itu mudah. Menyalahkan orang lain juga tak kalah gampangnya. Tapi menjaga kehidupan, dan membetulkan sesuatu yang dianggap salah, jauh lebih berat daripada menanggung beban seluruh dunia. Dan itulah seharusnya tanggung jawab yang kita pikul, dan bukan kita campakkan dengan cara yang paling keji. Membunuh dan menyalahkan dunia!

Tulisan ini adalah sebuah protes, tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi atas nama penegakan hukum. Juga untuk orang-orang yang menjadi korban kekerasan atas nama apapun. Sungguh, kematian yang zalim tak layak bagi siapapun. Termasuk orang-orang yang dipersalahkan dengan label terorisme atau pembuat keonaran. Karena lingakaran pembunuhan atas nama penegakan hukum ini terus berulang, maka protes harus diserukan.

Mari kita urut satu persatu, siapa saja yang telah mati diujung senapan atau ditembus peluru. Pertama sekali, DR Azahari yang tewas, konon, dengan cara meledakkan diri di dalam rumah yang penuh dengan bahan peledak di Batu, Malang. Lalu, urutan-urutan daftar semakin panjang. Kemudian, setelah Dr Azahari perburuan semakin gencar, konon mencari Noordin M Top yang menjadi biang dari segala ketakutan. Korban tewas lainnya adalah, Ibrohim pasca peristiwa Bom Ritz Carlton. Peristiwa tewasnya Ibrohim sangat dramatis. Dikepung lebih dari 10 jam, dengan pasukan tempur lengkap, robot pengintai, bukit dan tanah lapang penuh dengan aparat keamanan. Hanya untuk menangani satu orang. Hasil akhirnya, nyawa Ibrohim melayang, setelah seluruh rakyat Indonesia menontonnya di siaran langsung layar kaca. Sampai di titik ini, Noordin belum lagi jelas di mana.

Daftar korban penembakan Densus 88 semakin panjang. Ada Urwah dan Air Setiawan, yang didor di Jatiasih, Bekasi. Dari cerita yang digelar, keduanya melakukan perlawanan dan aparat keamanan terpaksa membuat nyawa mereka melayang.

Lalu datanglah hari besar itu, Noordin M Top digerebek di Solo. Kali ini tanpa drama pengepungan yang disiarkan live oleh televisi swasta yang akrab sekali dengan berita-berita Densus 88. Cerita yang sering dibangun tentang Noordin adalah, sosok yang licin, cerdik dengan penciuman tajam bau aparat keamanan. Kemana-mana ia akan selalu memakai rompi lengkap dengan bahan peledak, untuk berjaga-jaga, agar dia tak ditangkap hidup-hidup. Tapi kisahnya berakhir tidak dengan ledakan rompi peluru atau yang lainnya, Noordin M Top yang diburu selama lebih dari delapan tahun tewas tertembus peluru anggota Densus 88.

Apakah selesai setelah Noordin tak bernyawa? Tidak sama sekali, bahkan hingga kini, terus muncul nama lama yang dihidupkan lagi, atau nama baru yang dibangun dengan cerita gagah disekelilingnya. Nama baru yang muncul adalah Saifuddin Zuhri dan saudara kandungnya, Jailani. Dua lelaki bersaudara yang juga meregang nyawa diujung peluru Densus 88.

Kini, setelah berbulan-bulan isu terorisme mereda, dan masalah Bank Century tengah berada di titik didih dan puncak perhatian rakyat Indonesia, Densus 88 muncul kembali dengan berita teroris sedang menggalang kekuatan besar di Aceh Besar. Bahkan pengamat intelijen dan masalah terorisme, dengan gagah dan sok tahu bercerita, “Mereka sedang membangun kekuatan dan berencana melakukan pembajakan kapal di Selat Malaka, terinspirasi oleh mereka yang beroperasi di Teluk Eden, Somalia.”

Berikutnya, Dulmatin alias Joko Pitono alias Yahya Ibrahim alias Amar Usman tewas tertembus peluru di sebuah booth warnet di Pamulang, Tangerang Selatan. Dua pengawalnya, juga tertembak di tempat lain, Ridwan dan Hassan Noer.

Cerita horor terorisme seolah diperpanjang episodenya, dan kalau bisa terus dikembangkan skenarionya. Dengan kisah pembajakan di Selat Malaka, tidakkah mereka yang menuturkan berpikir panjang. Setelah kelompok Ibrohim, Noordin M Top, Saifuddin Zuhri dan Jailani dipangkas bersih, jika pun masih ada, sisa-sisa yang tersisa pasti tertatih-tatih memperbaiki system dan sel-sel mereka. Dengan membentuk kelompok pembajak, yang bergerak di laut, tentu bukan urusan sederhana. Perlu dana yang sangat besar, perlu peralatan yang advance, lebih dari sekadar gotri dan bubuk hitam. Untuk menjadi pembajak di Selat Malaka, perlu heavy sophisticated equipment. Apakah tidak terpikirkan tentang hal ini oleh para pembuat teori kemungkinan terorisme, yang sering tampak gagah di televisi tapi ternyata keterangannya tak lebih hanya bocoran dari BAP polisi.

Saya lelah dengan semua ini, sampai kapan terorisme? Sampai kapan pembunuhan atas nama penegakan hukum dan upaya pengamanan terus dilakukan? Tak ada yang layak mati! Siapapun itu, pelaku kekerasan atau korban kekerasan.

Tak ada yang layak mati, siapapun itu. Mereka yang disebut sebagai teroris, tak layak mati dibunuh dengan cara seperti yang telah kita saksikan bersama. Mereka yang menjadi korban, dan akan menjadi korban tindak kekerasan, bom atau apapun, juga tak layak mati! Sekali lagi, tak ada yang layak mati!

Setidaknya, drama terorisme masih menyisakan dua nama lagi untuk memperpanjang cerita. Ada Hambali yang sangat misterius dan lepas bahkan setelah dihandover pada kekuatan seperti Amerika Serikat. Ada pula Umar Patek, yang konon disebutkan tak pernah berpisah dengan Dulmatin alias Joko Pitono alias Yahya Ibrahim alias Amar Usman.

Membunuh itu mudah, sungguh! Manusia ini secara fisik hanya terdiri dari daging, tulang dan cairan. Sebutir peluru akan dengan segera mengakhiri semua denyut jantung, dan menumpahkan darah. Tapi ideologi, paham dan pemikiran, tak akan pernah mati oleh senjata pemusnah massal sekalipun. Menjaga kehidupan tetap berlangsung, agar kita mampu berada dalam situasi dialog, meski dengan kondisi yang tidak nyaman, akan memberi kemungkinan kebaikan jauh lebih besar dari pada pembunuhan.

Orang-orang yang sering disebut sebagai teroris, mereka yang sering disebut sebagai pecinta kekerasan ini, bukan manusia yang tak bisa diajak bicara untuk mendiskusikan kebenaran. Tapi pertanyaannya, mungkinkah mereka yang berdiri dengan seragam, memegang senjata resmi dengan izin dari negara, memberi peluang agar sama-sama membicarakan kebenaran? Kita sering mengembangkan pertanyaan tentang saudara-saudara yang mendapat predikat sebagai teroris ini. Siapakah mereka? Dan bagaimana mungkin mereka menjadi mereka seperti sekarang ini?

Padahal, ada pertanyaan yang juga tak kalah pentingnya, yang harus kita ajukan juga pada diri kita sendiri. Siapakah kita ini? Dan bagaimana mungkin mereka terlahir dan membesar seperti sekarang ini? Apa yang sudah kita sumbangkan sehingga semua ini terjadi? Kita sering mengajukan pertanyaan tentang mereka, tapi tak sekalipun mengajukan pertanyaan tentang kita. Lalu dengan mudah kita menyelesaikan masalah dengan membunuh mereka. Betapa tidak adilnya kita!