Entah mengapa, dulu saya belum mampu untuk memahami pepatah ” mulutmu adalah harimaumu ” atau “ lisanmu sepenting hidupmu” dan berbagai pepatah lainnya yang berhubungan dengan masalah lisan. Marah-marah, menggerutu, mengumpat atau bahkan beristighfar adalah sebuah reaksi emosi yang muncul dari jiwa seseorang. Dari mana munculnya semua reaksi tersebut ? setelah mencari kesana kemari, akhirnya saya menemukan sebuah jawaban yang nyata, yaitu hati. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini…: Rasulullah Shalallahu alaihi Wa Salam bersabda:
"Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik maka baik pulalah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati”.
Dari hadits diatas, saya berusaha untuk menyelami maksudnya berdasarkan logika yang terbatas ini. Ternyata hati memiliki peran penting bagi seluruh anggota tubuh lainnya. Hati yang memerintahkan seseorang berbuat baik maupun sebaliknya.
Hati yang menggerakkan lisan untuk mengucapkan apa yang terkandung didalamnya. Bagi beberapa orang, sebelum lisannya bergerak, maka otaknya akan bekerja terlebih dahulu, menjadi filter dari setiap kata yang akan dikeluarkannya. Namun, bagi manusia lainnya diluar dari tipikal manusia yang sudah saya sebutkan diatas, kemampuan otak yang Allah berikan kepadanya tidak dipergunakan dengan baik, bahkan tidak jarang, tidak digunakan sama sekali.
Sekarang saya baru memahami makna dari pepatah tarsebut. Jika mengingat-ingat tausiyah dari salah satu ustadz terkenal di Indonesia,beliau mengatakan bahwa diri ini ibarat teko. Apa yang dikeluarkan dari mulut teko adalah gambaran dari apa yang ada didalamnya. Berbagai celaan sudah pernah saya terima, mulai dari yang biasa saja, hingga yang kasarnya bukan main. Bagitu halnya dengan pujian (tapi ndak banyak orang yang memuji saya, karena ndak ada yang pantas dipuji dari diri ini hehe )
Lagi-lagi saya teringat dengan tausiyah beliau, yang beberapa kali saya dengarkan di mp3 komputer saya. Salah satu hal menarik yang pernah disampaikannya adalah tentang hal ini.
“ketika ada yang memuji, kita harus punya ilmunya. Bahwa pujian itu sebenarnya tidak cocok untuk kita. Kita dipuji, karena orang lain tidak tahu siapa kita yang sebenarnya. Yang dipuji adalah topeng, sehingga jika kita dipuji dan tahu ilmunya, maka tidak akan terjebak dalam mendramatisir diri dan membohongi diri menjadi orang yang bangga dan bahagia menghadapi pujian tersebut. Padahal kita tahu, pujian itu tidak sepenuhnya cocok dengan diri kita.
Saat dicaci, kalau kita tahu ilmunya, maka cacian dan penghinaan itu lebih sederhana, dibanding keburukan kita yang sebenarnya. Maka kita tidak akan panik, goyah, stress bahkan kita dengar saja dengan baik dan dijadikan bahan renungan. Siapa tahu, itu bukan cacian, tapi informasi dari Allah untuk perbaikan diri kita. Sebenarnya hinaan mereka adalah perkataan yang sebenarnya.
Penghinaan adalah sarana dari Allah untuk peningkatan kemuliaan kita dan sarana pengetest kearifan kita… ”
Sebenarnya saya sangat menyukai saat seseorang marah, menghina atau mencaci saya. Karena dalam kegiatannya tersebut, saya bisa mendapat bermacam-macam kasus psikologi yang tidak ada dalam literature yang pernah saya baca.
Emosi seseorang bukanlah sebuah skenario yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat rapih dan “waw” saat orang lain menyaksikannya. Tapi emosi adalah sebuah letupan jiwa yang dari sanalah karakter seseorang bisa tergali dengan sendirinya, tanpa perlu melakukan riset. Saat menyaksikan seseorang yang sedang marah, biasanya otak saya mulai terpacu untuk berpikir, mulai dari hal-hal yang dapat tertangkap indera saya. Kemudian saya cermati bahwa apa yang baru saja keluar dari lisannya adalah gambaran jiwanya, kemudian saya serap baik-baik setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, kemudian saya memperhatikan gerak tubuhnya, sejauh mana dia bisa menguasai setiap bagian dari tubuhnya disaat marah.
Bisa saja, karena marah, tangannya bergerak dengan tidak terkendali sehingga melukai lawan bicaranya, atau dampak terhebat dari ketidakmampuannya mengontrol diri adalah tanpa sadar menghilangkan nyawa seseorang yang berada dekat dengannya atau perlakuan absurd lainnya yang kemungkinan besar terjadi tanpa disadari (naudzubillahi mindzalik!) persis seperti yang ada pada tayangan berita kriminal.
Apa alasan seseorang bisa bertindak diluar batas fitrahnya? Lagi-lagi jawabannya adalah hati. Oleh karena itu, maka kendalikan hatimu, agar bisa berhati-hati dalam setiap tindakan yang akan kamu lakukan. Sebetulnya hanya diri sendirilah yang mengetahui bagaimana caranya mengendalikan hati dan pikiran. Saya mencoba untuk berbagi saran yang insyaAllah berguna…(amiin)
1. Tundukkan hati hanya kepada Allah dengan cara terikat padaNya.
2. Jauhkan hati dari buruknya perasaan karena dapat menggerakkan pikiran dan perbuatan ke”jalan yang kurang bahkan tidak benar”..
3. Jangan jadikan hawa nafsu sebagi “panglima” dan “pengendali”nya.
4. Bertemanlah dengan orang-orang yang dapat menjaga hatinya dengan baik.
5. Dll (pelajarilah karekter diri sendiri, disana terdapat banyak jawaban. Atau berusaha bertanya kepada orang-orang terpercaya yang jujur ,lembut, dan arif caranya dalam menyampaikan saran).
Jadi, bersikap bijaksanalah dengan berusaha untuk memperbaiki diri. Perbaikilah langsung kepada pokoknya, yaitu hati. Jangan tunggu hingga ia sakit, gersang, mengeras ,lalu mati.
“Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." (QS. Asy-Syuara: 88 - 89)
Wallahu a'lam bishawwab...