O you know/Dib o to o do/Nyahoo teu…Anda pernah membaca tulisan itu. Rasa rasanya ya? Benar, tulisan itu ada di sampul belakang novel kedua Dewi Lestari yang berjudul Akar. Lantas, apa yang anda rasakan waktu membaca dan menyelami maknanya? Anda mungkin salah satu di antara mayoritas yang menyetujui maksudnya, karena menurut alur logika berfikir anda, pembajakan memang meresahkan, menimbulkan penindasan terselubung terhadap para penulis hingga andapun mewajarkan jika diantara penulis ada yang berkeinginan untuk menguliti kepala pembajak guna memuaskan dendam.
Pembajakan suatu karya, dalam hal ini kita mengambil contoh buku, menurut para ahli dimulai dari kemunculan distribusi ilmu pengetahuan masala yang kedua setelah Tsailun menemukan kertas. Dengan mesin cetaknya yang fenomenal, secara tidak langsung dalam tempo singkat. Guttenberg membantu lompatan inovasi ilmu pengetahuan hingga berpuluh – puluh kali lipat jauh lebih tinggi ketimbang masa sebelumnya.
Jika dulu waraq, atau para penyalin membutuhkan waktu yang lama untuk menyalin sebuah buku, maka hanya dengan menekan beberapa tuas, sambil ongkang – ongkang kaki dan sesekali menegak pilsener, seorang operator mesin cetak bias mendapat salinan ratusan lembar tulisan hanya dalam satu hari. Meski, mesin cetak memang tidak di tujukan untuk merugikan manusia, akan tetapi disetiap penemuan teknologi akan selalu ada sisi gelap yang menghantui.
Sejak saat itulah percetakan dan penerbitan buku, selaku karya intelektual seorang penulis menjadi tidak terkendali. Ketika penulis bersusah payah mencari ide, menjalani disiplin ilmu penulisan, menawarkan dan menunggu untuk diterbitkan tiba – tiba hasil keringat dan kerja keras intelektualnya dibajak begitu saja tanpa memperhatikan tata karma misalnya sekedar meminta izin kepadanya. Jika dalam perjanjian antara penerbit dengan penulis terdapat system royalty yang sedikit banyaknya akan menjamin keberlangsungan hidup penulis, maka pelaku pembajakan meniadakannya.
Di zaman ‘21century digital boy’ ini, keberadaan pembajakan dan pembeli buku bajakan dianggap sebagai indikasi kurang sadarnya masyarakat terhadap penghargaan intelektual. Kalau kurang sadar berarti masyarakat kesurupan? Sungguh menyedihkan!.
Apabila melihat masa sebelum mesin cetak Guttenberg ditemukan, pembajakan buku tidaklah menjadi permasalahan yang penting untuk diseriusi, sebab pada masa itu, penggandaan buku tidak dilakukan dalam bentuk cetakan masal, melainkan hanya dalam bentuk penyalinan.
Disinilah terlihat betapa culasnya pelaku pembajakan. Di satu sisi ingin mengeruk uang sebesar besarnya, tetapi disisi lain, dia tidak ingin menunaikan hak penulis yang membuatnya kaya. Artinya pembajak hanya ingin untung sendiri. Dan orang yang ingin untung sendiri adalah orang yang picik.
Belajar dari kasus tersebut, maka untuk melindungi penulis lahirlah serangkaian aturan yang dikemudian hari dikenal dengan nama hak cipta(copyright). Kemudian, apa setelah manusia menguras fikiran dan energi untuk menghasilkan aturan yang berpihak pada penulis, lantas apakah hak cipta tidak membawa sisi gelap bagi manusia? Beberapa orang menganggapnya tidak! Benar, jika hak cipta memberi jaminan pada penulis, akan tetapi hak cipta dianggap pemutus akses ilmu pengetahuan bagi masyarakat yang pada umumnya kere, melarat atau miskin.
Keberadaan hak cipta, menyebabkan masyarakat tidak diperkenankan secara legal mengakses ilmu pengetahuan, meski dengan mengkopi lalu menjilidnya secara pribadi. Ali – alih dibuat untuk melindungi penulis, pada kenyataannya hak cipta dijadikan alat bagi pemilik modal penerbitan, untuk meraup keuntungan sebesar besarnya. Di posisi inilah hukum rimba pula yang berkata: Cuma yang kaya yang berhak mendapat pengetahuan, yang hidupnya ngap – ngapan, tidak!
Maka untuk mengcounter hak cipta lahirlah ajakan untuk melakukan pembajakan, karena pembajakan adalah perlawanan. Demikianlah anggapannya. Lantas bagaimana?
Ada sebuah catatan sejarah yang mungkin bisa diambil hikmahnya dalam menentukan pembuatan aturan yang melindungi penulism namun tidak melupakan bahwa seluruh lapisan masyarakat mutlak memerlukan akses pengetahuan.
Pada abad ke sembilan dan kesepuluh masehi ketika dunia islam dipimpin oleh kesultanan Abasyiah, beberapa orang sultan (diantaranya Harun dan Ma’mun Al Rasyid) giat melakukan pengembangan pengetahuan mengenai filsafat (terutama hellenisme) pengobatan, matematika, dan ilmu pengetahuan lainnya. Untuk menunjang usaha ini mereka membuat Bait Al Hikmah, sedangkan usaha lainnya, ialah dengan memberikan jaminan kehidupan yang lebih dari sekedar penyambung hidup untuk para penulis yang memiliki karya.
Makmum dan Harun Al Rasyid, menghargai karya penulis dengan menimbang karyanya yang kemudian menggantinya dengan emas. Tolak ukur pembayarannya adalah berat timbangan karya si penulis. Ibaratnya jika karya si penulis setelah ditimbang beratnya ternyata satu kilo maka Negara akan menggantinya dengan emas seberat satu kilo juga. Setelah penulis diberikan haknya, kesultanan Abasyiah, mempersilahkan masyarakat untuk mengakses karya penulis, menggunakan berbagai cara, menyalinnya sendiri, atau menyebarluaskannya meski dengan tujuan komersialisasi. Terserah, sebab Negara sudah menuntaskan hak penulis dan hak masyarakat untuk mengakses pengetahuan yang murah.
Tentu cerita itu bukan ditujukan agar pemerintah membuat kebijakan mengganti buku Dewi Lestari taruhlah dengan setengah kilo emas. Terserahlah, pemerintah mau membayar dengan setengah kilo buku Dewi Lestari dengan sepuluh tangki bensin atau dengan kulit kerang zama kyoken modinger, asalkan bisa melindungi hak penulis cantik itu. Lantas bagaimana dengan nasib penerbit? Penerbit bias bekerjasama dengan pemerintah. Mengenai masalah teknis, silahkan bicarakan dengan ahlinya.
Akhir kalam, mudah – mudahan tulisan ini bisa membuka wacana dalam mempertimbangkan hak cipta yang sudah terlanjur dilegalisasikan. Mungkin dari wacana ini akan muncul antitesa sementara: Pembajakan untuk komersialitas?NO! Pembajakan untuk pencerdasan?YES! dari tesa: Pembajakan adalah perlawanan. Mungkin Indra Bekti akan menyusul Dewi Lestari mengorbitkan buku! Mungkin…akan ada wacana lainnya yang lebih baik, demi masyarakat dan dunia perbukuan yang sama – sama kita sayangi, mungkin…